Unram Berhasil Jadikan Sapi Bali Sebagai Penghasil Daging Unggulan Nasional
Mataram, Universitas Mataram – Fakultas Peternakan Universitas Mataram (Faterna Unram) berhasil menjadikan sapi Bali sebagai penghasil daging unggulan nasional. Hal tersebut sebagaimana disampaikan oleh Prof. Dahlanuddin, M.Rur.Sc., Ph.D kepada Humas Unram, Rabu (26/8) lalu.
Prof. Dahlan selaku Ketua Tim Peneliti menerangkan bahwa sapi Bali (Bos Javanicus) adalah sapi asli Indonesia yang sudah berkembang pesat di NTB dan bagian lain Indonesia Timur. Dia menjelaskan, ada dua permasalahan utama dalam meningkatkan mutu sapi Bali. Pertumbuhan yang lambat (sekitar 0,2 kilogram per hari) dan daging yang keras (alot). Oleh karena itu Sapi Bali dianggap inferior dibandingkan dengan jenis sapi eksotik seperti Simmental atau Limosin.
“Karena itu kami terus mengembangkan penelitian yang bisa mendukung agar mutu Sapi Bali di NTB sesuai permintaan pasar,” tuturnya.
Prof. Dahlan melanjutkan, selama ini daging sapi Bali hanya digunakan untuk menu tradisional seperti rendang, bakso dan masakan sehari hari lainya. Karena daging Sapi Bali pada umumnya a lot. Hal itu membuat hotel berbintang dan restauran besar harus menggunakan daging impor untuk memenuhi kebutuhan konsumen kelas menengah ke atas, yang biasanya ingin mengkonsumsi daging dalam bentuk steak atau menu kontinental lain.
Untuk meningkatkan kualitas daging sapi Bali dan mengurangi impor daging, sejak tahun 2001 Faterna Unram telah melaksanakan berbagai riset kolaborasi dengan berbagai institusi baik di dalam maupun luar negeri untuk meningkatkan produktivitas dan mutu sapi Bali di NTB, ujar Prof. Dahlan. Sampai dengan tahun 2004, Faterna Unram dan Balai Pengkajian teknologi Pertanian NTB (BPTP NTB) bekerjasama dengan University of Queensland Australia.
“Untuk menguji sistem produksi sapi Bali terpadu di Lombok Tengah yang dikenal dengan Model Kelebuh (salah satu Desa di Lombok Tengah, red.),” jelas Guru Besar yang menempuh Pendidikan Doktornya di negara Kangguru itu.
Program tersebut menurutnya telah berhasil meningkatkan angka kelahiran sapi Bali dari 66% menjadi 85%, menurunkan kematian pedet dari 15% dan meningkatkan berat sapi (umur 6 bulan) dari 65 kg menjadi 90 kg. Melalui kerjasama dengan BPTP NTB dan CSIRO Australia, Unram selanjutnya mereplikasi Model Kelebuh kepada 36 kelompok di Lombok Tengah dalam kurun waktu 2007 – 2010 dengan capaian produktivitas yang hampir sama.
“Dengan perbaikan sistem produksi tersebut, produksi daging sapi Bali meningkat sekitar 130 %,” ungkapnya.
Keberhasilan dalam mereplikasi model Kelebuh itu telah menjadi rujukan utama dalam menyusun Blue Print NTB Bumi Sejuta Sapi (NTB BSS), yang merupakan program unggulan Pemerintah Propinsi NTB. Puncak dari capaian menurut Prof. Dahlan ditandai dengan acara Panen Pedet di Desa Kelebuh Lombok Tengah tahun 2009 silam.
“Event itu adalah yang pertama kali dilaksanakan di Indonesia dan untuk pertama kalinya dipopulerkan motto 3S atau Satu Induk Satu Anak Satu Tahun,” ujarnya.
Lebih lanjut dia menerangkan, sejak tahun 2011 Unram dan BPTP NTB juga kembali bekerjasama dengan University of Queensland untuk mencari strategi meningkatkan kecepatan pertumbuhan Sapi Bali dalam masa penggemukan. Berbagai formula pakan pun diuji untuk mencari sistem penyediaan pakan yang paling sesuai untuk kondisi NTB. Hingga ditemukan dua tanaman pakan yang dianggap sesuai untuk dijadikan komponen ransum sapi Bali di NTB yakni, daun turi (Sesbania Grandiflora) dan daun lamtoro (Leucaena leucocephala).
“Keduanya unggul dari berbagai bahan pakan lain yang diuji karena disamping kualitasnya yang tinggi, tanaman pakan tersebut cocok dikembangkan secara luas di wilayah NTB,” paparnya.
Melihat ketersediaan lahan untuk pengembangan sapi di NTB yang umumnya berupa lahan kering, lamtoro lebih unggul karena lebih toleran terhadap kekeringan, tidak perlu disiram atau dipupuk dan dapat dipanen sampai umur 25 tahun, terang Prof. Dahlan. Lamtoro yang dikembangkan dalam program ini adalah varitas Tarramba yang lebih toleran terhadap serangan kutu loncat (Heteropsylla cubana) yang banyak menyerang tanaman lamtoro.
“Pemberian pakan berbasis lamtoro dapat meningkatkan kenaikan berat badan sapi Bali menjadi 0.4 – 0.7 kilogram per hari tergantung formula ransum, sehingga berat potong minimal 300 kilogram yang disyaratkan oleh pemprov NTB dapat dicapai pada umur muda atau sekitar 2 tahun,” urainya.
“Pemotongan Sapi Bali pada umur muda menyebabkan daging sapi Bali lebih empuk dibandingkan kalau dipotong pada umur 3-4 tahun pada pemeliharaan tradisional,” sambungnya.
Sementara itu, penyebarluasan penggemukan sapi Bali dengan basis pakan lamtoro dilanjutkan oleh Unram melalui bekerjasama dengan The Commonwealth Scientific and Industrial Research Organisation (CSIRO), dalam program Applied Research and Innovation Systems in Agriculture (ARISA). Prof. Dahlan menerangkan bahwa program tersebut merupakan kemitraan antara lembaga riset, sektor swasta dan peternak sapi.
“Hasil kajian ini menunjukkan sistem produksi ini sangat menguntungkan peternak, sehingga adopsinya meningkat dengan pesat,” serunya.
Guru Besar kelahiran Sumbawa 58 tahun silam itu juga mengatakan, peternak yang terlibat dalam penggemukan sapi Bali dengan basis pakan lamtoro sudah lebih dari 2.000 orang yang hampir seluruhnya ada di Pulau Sumbawa. Dari seluruh wilayah Pulau Sumbawa, tidak kurang dari 10 ribu ekor sapi yang dihasilkan setiap tahun. Sayangnya, hampir seluruh sapi Bali yang digemukkan dengan basis pakan lamtoro tersebut masih dijual di pasar tradisional.
“Akibatnya, harga jual Sapi yg digemukkan dengan lamtoro ini tidak jauh lebih tinggi dibandingkan dengan sapi Bali yang dipelihara secara tradisional,” ungkapnya.
Untuk mengatasi kendala tersebut, Prof. Dahlan mengatakan tahun 2017 Unram bekerjasama dengan Massey University New Zealand melakukan kajian rantai nilai sapi Bali di NTB. Potensi pasar yang kemudian dianggap potensial adalah hotel berbintang di wilayah NTB dan konsumen rumah tangga kelas menengah ke atas.
“Agar daging sapi Bali dapat diterima di konsumen kelas atas tersebut maka dilakukan serangkaian kajian, ini untuk lebih meningkatkan keempukan daging sapi Bali yang digemukkan dengan basis pakan lamtoro,” tuturnya.
Berbagai inovasi dalam pengolahan daging diuji coba untuk menghilangkan jaringan ikat (yang menyebabkan daging alot) pada daging agar daging menjadi lebih empuk. Hasil serangkaan kajian menunjukkan dengan chilling pada suhu dingin selama 24 jam, dlanjutkan dengan aging pada suhu yang sesuai memicu aksi enzim internal daging untuk mencerna jaringan ikat.
“Hasilnya adalah daging menjadi lebih empuk dan cocok dimasak sebagai steak atau menu kontinental lainnya,” tambahnya.
Temuan ini kemudian dikomunikasikan dalam berbagai temu bisnis untuk menunjukkan keunggulan daging sapi Bali yg digemukkan dengan lamtoro. Dengan dipotong dan diproses secara spesifik lebih meningkatkan keempukan daging. Prof. Dahlan menyebutkan, para peserta mengaku bahwa daging lokal ini sudah layak dipasarkan di hotel berbintang. Beberapa stakeholder pun mengatakan daging lokal ini memiliki keunggulan komparatif seperti kekhasan tempat produksi, tidak diberi hormon pertumbuhan dan diproses secara halal.
Saat ini Kementerian Pertanian sudah menjadikan daging sapi yang digemukkan dengan lamtoro dan diproses secara spesifik ini sebagai program nasional dan dibranding dengan nama Special Bali Beef. Dirjen Peternakan dan Kesehatan Hewan Dr. Nasrullah dalam acara Sosialisasi dan Uji Rasa Special Bali Beef di Novotel Lombok, Sabtu (22/8) lalu, melaporkan Bali Beef memiliki keunggulan dibandingkan dengan sapi Bali biasa. Karena pakannya berupa hijauan segar, daging Special Bali Beef ini menjadi lebih empuk dan lebih sehat. Sehingga dapat dijual dengan harga 20-30 % lebih tinggi dari daging sapi Bali biasa.
“Jadi diharapkan dapat meningkatkan keuntungan peternak,” kata Dr. Nasrullah.
Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo dalam arahannya juga menyatakan Kementerian Pertanian sangat mendukung program Special Bali Beef ini. Menurutnya, sapi Bali sebagai unggulan nasional perlu dikembangkan dengan lebih fokus untuk meningkatkan produksi dan kualitas dagingnya, sehingga bisa mengurangi impor daging.
“Daging yang selembut ini untuk pertama kalinya dirasakan. Kelembutannya saya rasa sudah seperti daging sapi impor. Selain itu, ada aroma yang khas dan ini bisa menjadi keunggulan dibanding daging sapi lainnya,” katanya usai mencicipi olahan daging penggemukan di NTB.
Gubernur NTB Dr. Zulkieflimansyah, SE., M.Sc mengatakan daging Special Bali Beef yang dikembangkan Unram tidak kalah dengan kualitas daging impor. Dr. Zul berharap daging sapi asli Indonesia ini bisa menjadi tuan di negeri sendiri dan perlu diproduksi dalam skala industri.
“Ini dimaksudkan agar sistem produksinya dapat berkelanjutan,” katanya.
Rektor Unram Prof. Dr. Lalu Husni, SH., M.Hum secara khusus memberikan apresiasi dan penghargaan atas dukungan pendanaan program ini. Baik dari The Australian Centre for International Agricultural Research (ACIAR), Department of Foreign Affairs and Trade (DFAT) Australia and Ministry of Foreign Affairs and Trade (MFAT) New Zealand yang telah mendanai rangkaian penelitian kerja sama Unram selama ini. Ia berharap agar dukungan dari lembaga-lembaga donor tersebut dapat berlanjut agar Universitas Mataram dapat melakukan riset lanjutan.
“Semoga ini kedepannya akan lebih meningkatkan kualitas dan keamanan daging Special Bali Beef ini,” pungkasnya.