Unram Dukung Pengembangan Ekonomi Berbasis Blue Growth di NTB
Mataram, Universitas Mataram – Universitas Mataram (Unram) mendukung pengembangan ekonomi berbasis Blue Growth di NTB. Sebab, pengembangan ekonomi berbasis Blue Growth di NTB dapat membantu meningkatkan kemajuan ekonomi berbasis kelautan perikanan dengan mengedepankan keterlibatan sosial dan ketahanan lingkungan.
“Indonesia memiliki sumber daya laut yang berlimpah, oleh karena itu perlu dikelola secara bijak,” tutur Rektor Unram Prof. Dr. H. Lalu Husni, SH., M.Hum saat kegiatan Studium General dengan tema Implementasi Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM) di Ruang Senat Rektorat Unram dengan menerapkan protokol Covid-19, kemarin (24/5).
Dalam kegiatan ini, hadi pula secara langsung Guru Besar IPB Prof. Dr. Ir. Rokhmin Dahuri, MS. Rektor Unram mengatakan, kehadiran Prof. Rokhmin yang selaku staf ahli KKP-RI dalam kegiatan ilmiah ini merupakan bentuk dukungan Unram terhadap pengembangan ekonomi berbasis Blue Growth itu sendiri.
Menurutnya, pengembangan ekonomi berbasis kelautan perikanan perlu dipertimbangkan. Agar bisa memberikan kontribusi bagi kesejahteraan masyarakat, hingga masa yang akan datang.
“Untuk itu diperlukan keterlibatan semua pemangku kepentingan. Tidak hanya pemerintah, masyarakat, dunia usaha dunia industri, termasuk perguruan tinggi,” ujarnya.
Perguruan tinggi saat ini membutuhkan mitra kerja untuk mengimplementasikan MBKM. Baik untuk kepentingan magang, praktik kerja mahasiswa, membangun desa, proyek kemanusiaan, riset, usaha di bidang kelautan perikanan, maupun proyek independen. Oleh karena itu, dia menilai dengan menghadirkan pakar di kegiatan ini, bisa memberikan pencerahan bagi para peserta yang terdiri dari akademisi dan birokrasi.
“Tentunya ini dalam rangka mengoptimalkan sektor kelautan dan perikanan untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat secara berkelanjutan,” jelasnya.
Turut hadir dalam acara ini Gubernur NTB yang diwakili oleh Asisten II Sekretaris Daerah Ir. H. Ridwan Syah, M.Sc., MM., M.Tp. Dia mengatakan Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia. Proporsi perairan Indonesia juga lebih besar dari daratan. Hal ini secara otomatis menyebabkan Indonesia memiliki potensi perikanan terbesar di dunia. Namun sampai saat ini pemanfaatannya masih belum optimal, yakni hanya 20 persen dari potensi yang dimiliki. Selain itu hanya seperempat orang Indonesia, yang menggantungkan pekerjaannya di sektor perikanan dan kelautan.
“Secara empiris kita bisa lihat di Samota, dimana wilayah tersebut belum 10 persen bisa memanfaatkan potensi tersebut,” tambahnya.
Dijelaskan, provinsi NTB sendiri, memiliki potensi yang sangat luar biasa. Tidak semua provinsi atau daerah di Indonesia memiliki keunggulan tersebut. Pengembangan ekonomi biru bagi NTB bukan hal yang baru. Mengingat tahun 2014 dan 2019 Kementerian telah bekerja sama menjadikan lokasi perairan Lombok Timur dan Lombok Tengah sebagai sentral implementasi kegiatan perikanan yang berbasis ekonomi biru.
“Ini diintegrasikan dengan budidaya laut, khususnya lobster, rumput laut dan pengembangan ekowisata mangrove,” imbuhnya.
Sementara itu Prof. Rokhmin mengatakan, munculnya konsep Ekonomi Hijau sudah dimulai sejak tahun 1980an. Konsep ini menjadi respon atas kegagalan paradigma ekonomi konvesional. Dimana paradigma ini gagal mengatasi kemiskinan, ketimpangan ekonomi, kerusakan lingkungan dan perubahan iklim.
“Ekonomi Hijau itu suatu ekonomi yang bisa mensejahterakan masyarakat dan bisa meningkatkan efisiensi budidaya alam,” terangnya.
Namun demikian dijelaskan, Ekonomi Hijau memiliki kelemahan, dan ekonomi biru dianggap mampu untuk mengatasi kelemahan tersebut. Kelemahan Ekonomi Hijau yaitu kemampuan yang hanya mengatasi masalah dari segi ekosistem alam. Tetapi dari sisi permintaan, khususnya gaya hidup penduduk di negara maju yang sangat konsumtif, Throw-Away Society, dan hedonis tidak diperbaiki. Dengan kata lain, ekonomi hijau memecahkan fenomena, namun belum menyentuh akar masalah pembangunan ekonomi kapitalistik.
“Ini tidak mau merubah gaya hidupnya,” terangnya.
Selanjutnya implementasi ekonomi hijau umumnya lebih mahal ketimbang ekonomi konvensional. Dimana ini terlalu memfokuskan pada konservasi dan perlindungan lingkungan.
“Tetapi ini mengorbankan pertumbuhan ekonomi dan pembangunan sosial,” jelasnya.
Sebab ekonomi hijau ini hanya cocok untuk negara yang super maju. Jadi, untuk negara yang memiliki pengangguran dan kemiskinan tidak dapat menerapkan ekonomi hijau.
“Itulah Indonesia cocoknya di Ekonomi Biru,” pungkasnya dia.