Unram Kukuhkan Tiga Guru Besar Baru

Published On: 3 Desember 2020By Tags: ,
Unram Kukuhkan Tiga Guru Besar Baru

Mataram, Universitas Mataram – Universitas Mataram (Unram) kembali menambah jumlah guru besar. Akhir tahun ini Unram mengukuhkan tiga orang guru besar secara luring di ruang Sidang Senat gedung Rektorat Unram dan secara daring melalui kanal Youtube Universitas Mataram, Rabu (2/12).

Pengukuhan Guru Besar yang digelar dalam rapat terbuka senat Unram mengukuhkan Prof. Dr. Kurniawan, SH., M.Hum sebagai Guru Besar Ilmu Hukum Bisnis di Fakultas Hukum (FH), Prof. Sulhaini, SE., M.Sc., Ph.D sebagai Guru Besar Ilmu Manajemen di Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB), dan Prof. Dr. Arifuddin, M.Pd sebagai Guru Besar Ilmu Pendidikan Bahasa Inggris di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP).

Rektor Unram Prof. Dr. Lalu Husni, SH., M.Hum saat mengukuhkan ketiga Guru Besar itu mengatakan bahwa jabatan professor memiliki tanggung jawab yang besar karena merupakan ujung tombak untuk melakukan riset-riset dan inovasi. Dia pun mendorong agar setiap satu orang guru besar dapat menghasilkan satu guru besar baru melalui skema penelitian percepatan guru besar yang sudah di sediakan Unram.

“Kami berharap setiap satu orang guru besar dapat menghasilkan satu guru besar baru melalui skema penelitian percepatan guru besar yang sudah kita sediakan,” ujarnya.

Sementara itu, Prof. Dr. Kurniawan, SH., M. Hum dalam orasi ilmiahnya yang berjudul “Hukum Acara Persaingan Usaha Paca diundangkan UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja” mengatakan UU Cipta Kerja (UU Ciptaker) atau yang lebih dikenal dengan omnibus law yang telah ditandatangani Presiden Joko Widodo pada 2 November 2020 lalu bertujuan untuk menciptakan lapangan kerja dan meningkatkan investasi asing dan dalam negeri dengan mengurangi persyaratan peraturan untuk izin usaha dan pembebasan tanah.

“Pada bidang usaha, UU Ciptaker memuat perubahan terhadap UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (UU Anti Monopoli),” paparnya.

Dia melanjutkan perubahan beberapa pasal dalam UU Persaingan Usaha telah diatur dalam Bab VI tentang Kemudahan Berusaha, tepatnya bagian kesebelas tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat pada Pasal 118.

“Secara garis besar terdapat empat poin penting perubahan terkait penegakan hukum anti monopoli,” sebutnya.

https://youtu.be/K3h4JCR_8yI

Dia menyebutkan keempat poin tersebut adalah perubahan upaya keberatan dari Pengadilan Negeri ke Pengadilan Niaga, penghapusan jangka waktu penanganan upaya keberatan oleh Pengadilan Niaga dan Mahkamah Agung, penghapusan batasan denda maksimal, dan penghapusan sanksi pidana tambahan.

Orasi ilmiah yang kedua disampaikan oleh Prof. Sulhaini, SE., M.Sc., Ph.D dengan judul “Tantangan Merek Lokal di Pasar Domestik Ditinjau dari Perilaku Konsumen Muda”. Prof. Sulhaini menjelaskan bahwa hubungan konsumen muda dengan merek lokal masih lemah karena mereka memandang bahwa merek lokal tidak menawarkan nilai simbolis dan hedonis yang mereka inginkan, bahkan mereka cenderung menghindarinya.

“Akan tetapi hubungan konsumen muda dengan merek lokal yang lemah bisa juga disebabkan oleh ketidakmampuan konsumen untuk mengidentifikasi merek lokal karena penggunaan nama merek asing dan serta asosiasi merek yang positif,” bebernya.

Baca Juga : Buka Tahun 2020, Unram Kukuhkan 3 Guru Besar

Dia menuturkan bahwa semakin baik asosiasi merek lokal semakin membuat konsumen muda menganggap merek lokal tersebut berasal dari luar. Hal itu menurutnya, karena konsumen tidak mengetahui bahwa merek berkualitas dan popular di dalam negeri sebenarnya adalah merek lokal.

“Jika konsumen mengetahuinya, mereka memiliki citra negara Indonesia yang semakin baik dan berkomitmen terhadap merek lokal,” ujarnya.

Orasi ilmiah dari Prof. Dr. Arifuddin, M.Pd juga tak kalah menarik untuk disimak. Orasi ilmiahnya yang berjudul “Pembelajaran Pramatik Auditoris dalam Single-sex Education (SSE) Perspektif Antropologis, Sosiolinguistik dan Neuropsikolinguistik” mengatakan bahwa dalam beberapa aspek laki-laki dan perempuan berbeda, baik yang terkait langsung maupun tidak langsung dengan pembelajaran Bahasa.

“Dengan mempertimbangkan kekhasan karakteristik dan gaya berbahasa laki-laki dan perempuan berdasarkan perspektif antropologis, biologis, sosiolinguistik, dan neuropsikolinguistik, sebaiknya pembelajaran pragmatik dalam listening (mendengarkan, red.) dilakukan dalam kelas/sekolah untuk jenis kelamin yang sama (SSE),” urainya.

Dia mengatakan melalui pendekatan tersebut, akan tercipta suasana belajar Bahasa Inggris yang humanistis yang diikuti dengan asesmen/evaluasi performansi Bahasa Inggris berbasis berbagai perspektif tersebut.

“Diharapkan pondok pesantren dan juga sekolah umum mempertimbangkan temuan dan rekomendasi ini,” katanya.