Webinar RPM Angkat Isu Kesehatan Mental Pekerja Migran: Dari Trauma hingga Seni sebagai Terapi

Mataram, Universitas Mataram – Jemari Jiwa Migran (Jwara) Project yang tergabung dalam Rumah Perempuan Migran (RPM) mengadakan Webinar yang berjudul “Bincang Hangat Kesehatan Mental Pekerja Migran”. Pada acara webinar ini, RPM mengundang berbagai komunitas migran Indonesia di NTB yang terdiri atas Pancakarsa, Migrant Care, Advokasi Buruh Migran Indonesia, Senyumpuan, Relawan Cerdas NTB, Perwira Persatuan Migran Indonesia, Beriuk Bareng Peduli, Ecco Foundation, Komunitas Migran Jepang, BP3MI NTB, Diskominfotik NTB, BKPK Unram, LPPM Unram, Serikat Buruh Migran Indonesia, Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan NTB, FKMHII Korwil 6 dan HMHI Unram.
Webinar dilangsungkan pada Minggu, 1 Juni 2025 yang bertujuan untuk membekali dan membagikan informasi kepada para pekerja migran Indonesia terhadap pentingnya kesehatan mental, juga pentingnya merawat dan menyadari ciri-ciri dari gangguan pada kesehatan mental.
Pemateri pertama diberikan oleh Shafira Ayunindya yang menyatakan bahwa kesehatan mental merupakan salah satu kunci dari kesuksesan dan kesejahteraan pekerja migran. Ia menekankan perlunya program layanan psikososial bagi pekerja migran Indonesia yang mudah diakses, sehingga pekerja migran dapat segera mendapatkan pertolongan.
“Karena banyaknya masalah yang muncul dalam proses migrasi, seringkali muncul masalah kesehatan mental seperti, psikosomatis, perasaan marah dan sedih, depresi kecemasan, penyalahgunaan alkohol dan zat, jam tidur yang tidak berkualitas, dan konsentrasi buruk di tempat kerja. Untuk mengatasi kesehatan mental pekerja migran, IOM melakukan inisiatif seperti melakukan kerja sama dengan yayasan pulih, meningkatkan akses pekerja migran terhadap layanan dukungan kesehatan psikososial, dan melakukan kegiatan bersama pekerja migran,” jelasnya.
Di samping itu, Psikolog dari BKPK Unram, Azizatul Adni, menjelaskan bahwa permasalahan mental merupakan salah satu masalah yang rentan bagi setiap individu, termasuk pekerja migran. Ia turut menjelaskan bahwa bahkan dari hal-hal kecil, seperti makan siang yang tidak sesuai ekspektasi dapat memengaruhi kondisi mental seseorang.
“Depresi dan kecemasan adalah dua kondisi kesehatan mental yang sering muncul pada pekerja migran. Depresinya berbentuk episode depresi yang muncul dalam kesedihan yang mendalam pada hari atau rentang waktu tertentu. Kemudian menarik diri dari lingkungan sosial dan kehilangan motivasi untuk melakukan aktivitas sehari-hari merupakan depresi yang sering muncul,” papar Adni.
Adni juga menjelaskan bahwa pekerja migran rentan mengalami diskriminasi, kerinduan terhadap kampung halaman, serta tekanan akibat beban kerja yang besar, sehingga sangat berisiko mengalami gangguan kesehatan mental. Oleh karena itu, penting bagi para pekerja migran untuk tidak memendam masalah sendiri, melainkan berkomunikasi dan berinteraksi secara aktif dengan orang lain, karena hal ini dapat sangat membantu dalam menjaga dan memulihkan kesehatan mental.
Selanjutnya, Idawati Misno, salah satu pendiri Woman’s Journal dan mantan pekerja migran di China, membagikan pengalamannya selama bekerja di negeri tersebut. Miss Ida menceritakan kondisi mental yang ia alami selama menjadi pekerja migran, serta bagaimana interaksi dan komunikasi antarpekerja, termasuk melalui komunitas pekerja migran di China, sangat membantu dalam memberikan dukungan satu sama lain dan mencegah rasa kesepian.
“Seni menjadi suatu hal yang penting untuk kesehatan mental terutama bagi para pekerja migran. Setelah saya membentuk Women’s Journal menjadi sebuah seni dan kreativitas, khususnya PMI di Hong Kong menggunakan seni sebagai ekspresi emosional,” ungkapnya.
Miss Ida membagikan pengalamannya ketika menjadi PMI di HongKong dan bagaimana seni seperti melukis menjadi salah satu cara baginya untuk menenangkan diri dan merasakan kegembiraan.
Materi terakhir disampaikan oleh Anik Puji Lestari, seorang aktivis sekaligus mantan pekerja migran Indonesia di Tiongkok. Dalam paparannya, Miss Anik menjelaskan bahwa trauma yang dialami seseorang sejak masa kanak-kanak dapat berdampak besar pada kehidupan di masa dewasa. Dampak ini akan semakin terasa ketika seseorang bekerja di luar negeri, di tengah keterpisahan dari keluarga, tekanan kerja yang tinggi, serta kurangnya waktu istirahat.
Meskipun begitu, Miss Anik menyatakan bahwa dengan bantuan orang-orang sekitar, komunitas, ataupun bantuan profesional, maka bentuk-bentuk masalah kesehatan mental yang muncul akan dapat diatasi.
“Sebagai pekerja migran saya pernah mengalami rasa tidak percaya diri akibat trauma masa kecil dan tidak berani terbuka kepada orang lain. Namun, setelah mengikuti berbagai kegiatan dan pelatihan dari komunitas seperti Sunflower, MDW Recharge Hub dan komunitas PMI Hong Kong lainnya, kemudian menumbuhkan rasa percaya diri saya dan belajar banyak hal yang dapat membantu menyelamatkan kita,” paparnya.
Webinar kemudian dilanjutkan dengan sesi diskusi dan sharing session, di mana banyak migran maupun mantan migran Indonesia yang turut membagikan kisah mereka selama berada di negara asing. Kegiatan webinar ini sangat penting untuk dapat meningkatkan kesadaran masyarakat terutama pekerja migran dan keluarga dari pekerja migran, bahwa kesehatan mental adalah hal yang krusial dan bukanlah sebuah bentuk kelemahan.
